Tokoh Intelektual Adat 7 Suku Minta DBH Migas Bintuni Diaudit

BINTUNI, JAGAPAPUA.COMSeorang tokoh intelektual adat 7 suku di Kabupaten Teluk Bintuni, Dr. H. Jamaludin Iribaram, SIP, MM, mendukung adanya pemeriksaan secara hukum terhadap realisasi dan pengelolaan Dana Bagi Hasil (DBH) minyak dan gas (Migas) di daerah tersebut.

Dukungan Dr. Jamaludin ini sejalan dengan pernyataan tegas yang disampaikan oleh senator DPD RI Dr. Filep Wamafma dan anggota DPR RI Robert Kardinal yang juga mendesak segera dilakukannya audit terhadap DBH Migas serta CSR perusahaan di Bintuni tersebut.

Jamaluddin mendesak pemeriksaan itu segera dilakukan oleh penegak hukum baik secara internal audit dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI

"Perusahaan BP LNG Tangguh yang beroperasi di tanah adat kami jangan pernah membiarkan kami masyarakat adat 7 suku menderita di atas tanah kami sendiri. Banyak orang di seluruh dunia menyebut kami kaya akan SDA migas, tetapi faktanya kemiskinan masih terjadi," tegas Dr. H. Jalamudin, Selasa (6/5/2023).

Lebih lanjut, ia mengatakan, pemeriksaan terhadap DBH Migas Teluk Bintuni bukan saja dilakukan terhadap pihak perusahaan migas itu, namun juga kepada Pemkab Teluk Bintuni maupun pemerintah Provinsi Papua Barat.

Dari proses pembagian DBH itu, Jamaludin mempertanyakan realisasi dan pengelolaan alokasi yang menjadi hak masyarakat adat 7 suku Teluk Bintuni. Menurutnya, hal itu sudah semestinya banyak dirasakan masyarakat semenjak perusahaan raksasa itu beroperasi, terutama masyarakat adat pemilik hak ulayat terdampak.

“DBH begitu besar didengar oleh masyarakat adat hanya lewat cerita dan cerita maupun laporan pemerintah tentang pembagian melalui transfer DBH migas sebesar miliaran hingga triliunan rupiah, namun wujud nyata dana besar itu, masyarakat asli Bintuni tidak menikmati,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Jamaludin menyatakan, dukungannya atas adanya desakan pemeriksaan dan audit DBH di Teluk Bintuni. Tujuannya agar masyarakat juga mengetahui dimana dan kemana DBH itu selama ini.

“Kabarnya disebutkan ada program ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur rumah, jalan, air bersih dan transportasi laut yang dilaksanakan pihak perusahaan raksasa itu, tetapi faktanya tidak sesuai yang diharapkan dan belum menjawab kebutuhan hidup masyarakat adat terdampak beroperasinya perusahaan BP LNG Tangguh,” sebutnya.

"Seharusnya masyarakat 7 suku ini lebih kaya dan tidak miskin lagi di atas tanah mereka yang kaya raya dengan SDA melimpah. Ketika diklaim oleh pihak perusahaan membangun infrastruktur rumah layak huni kepada masyarakat, tetapi ada berapa banyak dan sejak kapan dibangun harus dijelaskan secara transparan. Lalu membangun jalan tetapi nyatanya jalan di Sumuri sekitarnya hancur total,” sambung Dr. Jamaludin.

Jamaludin juga mengutarakan adanya kontradiksi antara klaim perusahaan yang menyebut telah menjawab kebutuhan hidup masyarakat terdampak seperti di Sebyar meliputi wilayah adat Weriagar, Taroy, Tomu, dan Sumuri, serta Kamundan sekitarnya dengan fakta kondisi masyarakat di daerah tersebut.

“Artinya bahwa wilayah ini berhadapan langsung dengan perusahaan itu dan hasil migas dibawa dari wilayah mereka, namun ternyata kemiskinan melanda merekaa. Dana Bagi Hasil migas ini tidak diketahui oleh masyarakat, kemana dan dimana dana itu berada, lalu dana itu dikasih untuk siapa dan membangun apa.,” ucapnya.

"Jadi selama ini seperti tidak ada transparansi dari pihak perusahaan, pemerintah daerah penghasil, provinsi dan negara terhadap kami," tambah Jamaludin. (WRP)

Share This Article

Related Articles

Comments (1488)