MA Tolak Kasasi Masyarakat Adat di Papua, Ini Persoalannya
- by Uma Ruhmana
- Nov 05, 2024 10:00 am
- 243 views
JAKARTA, JAGAPAPUA.COM - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi masyarakat adat di Papua dalam upaya mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Putusan MA ini menuai kekecewaan masyarakat adat suku Awyu yang telah lama memperjuangkan ruang hidupnya.
Sebagaimana diketahui, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro mengajukan kasasi ke MA karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan PTTUN Makassar menolak gugatan serta bandingnya. Gugatan yang diajukan Hendrikus Woro tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL).
Adapun perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektar, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu.
“Saya merasa kecewa dan sakit hati karena saya sendiri sudah tidak ada jalan keluar lain yang saya harapkan untuk bisa melindungi dan menyelamatkan tanah dan manusia di wilayah tanah adat saya. Saya merasa lelah dan sedih karena selama saya berjuang tidak ada dukungan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Kepada siapa saya harus berharap dan saya harus berjalan ke mana lagi?” kata Hendrikus Woro, dikutip dalam siaran pers Walhi, 1 November 2024.
Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 458 K/TUN/LH/2024 itu, diketahui bahwa putusan tersebut diambil dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada 18 September lalu. Dari dokumen putusan lengkap yang baru bisa diakses pada 1 November 2024.
Anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua, Tigor Hutapea menyampaikan bahwa satu dari tiga hakim yang mengadili perkara ini, Yodi Martono Wahyunadi, mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurutnya, salah satu poin penting dissenting opinion tersebut menyangkut tenggat waktu gugatan 90 hari–yang sebelumnya menjadi dalih PTTUN Makassar untuk menolak permohonan banding Hendrikus Woro.
Dalam pertimbangannya, hakim Yodi merujuk Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, bahwa perhitungan yang dimaksud hanya hari kerja. Perhitungan tenggat waktu juga mesti mencakup hari libur lokal Provinsi Papua. Namun, karena mempertimbangkan keadilan substantif ketimbang keadilan formal, hakim Yodi berpendapat pengadilan perlu mengesampingkan ketentuan tenggat waktu itu dengan melakukan invalidasi praktikal.
“Dari pertimbangan dissenting opinion menyangkut tenggat waktu tersebut, kami menilai Mahkamah Agung inkonsisten dalam menerapkan aturan yang mereka buat. Padahal Peraturan Mahkamah Agung adalah petunjuk yang digunakan peradilan internal,” kata Tigor Hutapea.
“Putusan MA ini tidak berarti objek gugatan sudah benar karena dua hakim tidak memeriksa substansinya. Namun satu majelis hakim dalam dissenting opinion menyatakan bahwa penerbitan amdal terbukti belum mengakomodasi kerugian di wilayah kehidupan masyarakat adat, yang dikelola dan dimanfaatkan turun-temurun.”
Hakim Yodi Martono berpendapat bahwa objek gugatan–surat izin lingkungan hidup untuk PT IAL–bertentangan dengan berbagai asas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga harus dibatalkan. Namun, hakim Yodi kalah dalam pemungutan suara.
Diketahui sebelumnya, masyarakat adat Suku Awyu Papua berjuang mempertahankan hak-hak mereka atas eksistensi dan keberlanjutan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Awyu. Pasalnya sekitar 8.828 hektare hutan adat mereka diserobot dua perusahaan sawit yakni PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama.
Kedua perusahaan itu diketahui telah dicabut izin konsesinya oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar melalui Surat Keputusan NOMOR: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Akan tetapi, kedua korporasi ini tak terima dan diduga masih beroperasi hingga saat ini.
Bahkan, PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama mengajukan gugatan atas keputusan Menteri LHK tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Berdasarkan data pada Situs Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, PT Megakarya Jaya Raya mendaftarkan gugatan mereka pada 10 Maret 2023 dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT.
Gugatan itu mempersoalkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1150/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Megakarya Jaya Raya di Kabupaten Boven Digoel.
Hal yang sama juga dilakukan oleh PT Kartika Cipta Pratama yang mendaftarkan gugatan pada 15 Maret 2023 dan teregistrasi dengan nomor perkara 87/G/2023/PTUN.JKT. Perusahaan juga menggugat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1157/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Kartika Cipta Pratama di Kabupaten Boven Digoel.
Share This Article