Dokumen Diserahkan, DOB Provinsi Papua Selatan Dibahas Awal 2022

JAKARTA, JAGAPAPUA.COM - Pemekaran provinsi di wilayah Papua merupakan bagian dari amanat kekhususan Papua yang diakomodasi dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus). Aspirasi Daerah Otonom Baru (DOB) atau pemekaran Provinsi Papua Selatan adalah satu dari sejumlah aspirasi pemekaran yang sedang dan terus diupayakan oleh Tim Pemekaran Provinsi Papua Selatan (PPS).

Sejauh ini, Tim PPS telah menyerahkan empat dokumen kepada Komisi II DPR RI, DPD, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Senin (13/12/2021) kemarin. Ketua Tim PPS Thomas Eppe Safanpo menyampaikan bahwa pihaknya bersama 4 bupati di wilayah Papua Selatan akan bertemu dengan pemerintah yakni Mendagri Tito Karnavian dan Komisi II DPR RI.

"Ini aksi lanjutan yang diagendakan Januari kami akan kembali bertemu dengan komisi II. Kami langsung akan bertemu dengan Mendagri yang akan fasilitas pertemuan dengan 4 kabupaten Papua Selatan," jelas Thomas, dilansir dari Kompas, Senin (13/12/2021)

Thomas menjelaskan bahwa empat dokumen yang diserahkan tersebut antara lain: pertama, dokumen persyaratan administratif pembentukan Provinsi Papua Selatan dari empat kabupaten yakni Mappi, Merauke, Boven Digoel, dan Asmat. Kedua, dokumen naskah akademik yang disusun bersama Tim dari UGM.

Ketiga, dokumen kajian akademik tentang penentuan ibu kota Provinsi Papua Selatan dan Keempat, dokumen berupa draf rancangan undang-undang tentang pemekaran Provinsi Papua Selatan. Ia berharap draft RUU pemekaran Provinsi Papua Selatan dapat menjadi bahan pembanding saat pembahasan bersama pemerintah dan DPR RI.

Keempat dokumen tersebut diterima langsung oleh Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik, Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono dan diterima Sekretariat Komisi II DPR RI. Selanjutnya, dokumen itu juga akan diberikan kepada Kemenkumham, Kemenko Polhukam dan Kantor Staf Kepresidenan RI.

Menko Polhukam dan Mendagri Mendukung Pemekaran Provinsi Papua Selatan

Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud Md menyampaikan bahwa rencana pemekaran di Papua dapat menjadi pembahasan prioritas dalam satu atau dua tahun ke depan. Menurutnya, terdapat sejumlah pertimbangan terkait rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua diantaranya adalah pertimbangan kepentingan strategis nasional.

Mahfud mengatakan, pemekaran juga bertujuan untuk melakukan percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanat UU Otsus Papua.

“Selain pertimbangan kepentingan strategis nasional dalam rangka mengokohkan NKRI, juga masalah percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat serta memelihara citra positif Indonesia di mata internasional,” kata Mahfud melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa (30/11/2021).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Tito menyampaikan pemekaran Merauke menjadi bagian dari langkah-langkah percepatan pembangunan di wilayah Papua.

"Kita akan revisi undang-undang Otsus Papua, di Papua harus ada percepatan pembangunan, Merauke sudah bisa dimekarkan menjadi Provinsi Papua Selatan walaupun hanya ada empat Kabupaten karena adanya kekhususan buat Papua," katanya.

Mendagri mengaku optimis bahwa Provinsi Papua Selatan akan cepat maju dan menjadi paling maju di Papua melalui penguatan potensi pertanian dan perikanan. Ia mengatakan bahwa seluruh komponen masyarakat terutama tokoh masyarakat di wilayah Papua selatan harus bersatu dan membuat pernyataan tertulis untuk disampaikan kepada Presiden Jokowi.

"Wilayah Merauke punya potensi pertanian dan perikanan sangat luar biasa. Didukung dengan SDM yang memadai, saya yakin Provinsi Papua Selatan ke depan akan menjadi provinsi termaju di tanah Papua," ujarnya. 

Diketahui dokumen yang telah diserahkan oleh Tim PPS tersebut sebelumnya juga telah diterima langsung oleh para pimpinan di Papua yakni Gubernur Papua, DPR, dan MRP Papua. Pemekaran dinilai menjadi upaya untuk mendekatkan rentang kendali pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Senator dan Pakar Ingatkan Pemekaran Tak Didominasi Pertimbangan Politis

Menanggapi rencana pemekaran Papua, Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma SH, M.Hum dan seorang pakar otonomi daerah sekaligus mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohar mengingatkan agar pembentukan daerah otonomi baru di Papua harus dilakukan secara hati-hati.

Pemekaran wilayah yang terlalu banyak mengakomodasi pertimbangan politik dinilai berpotensi gagal dan menimbulkan konflik baru. Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma, SH, M.Hum, menekankan bahwa pemekaran di Papua harus menempatkan Orang Asli Papua (OAP) menjadi subjek utama dalam berbagai sektor pembangunan. Artinya, adanya pemekaran ini diharapkan benar-benar dapat mendorong pemberdayaan dan kesejahteraan OAP.

“Saya optimis pemekaran daerah jika direncanakan dengan baik dan tujuannya baik maka tentu akan berdampak positif juga terhadap kesejahteraan masyarakat,” ujar Filep.

Filep Wamafma mengingatkan bahwa pemekaran di Papua harus mengutamakan pemenuhan pelayanan-pelayanan dasar bagi masyarakat Papua daripada kepentingan-kepentingan politik dan keamanan. Menurutnya, adanya sejumlah persoalan lain terkait isu keamanan, pelanggaran hukum dan HAM memiliki mekanisme dan ruang lingkup berbeda juga harus dilaksanakan dengan baik.

Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini juga mengingatkan agar pemekaran dapat memperhatikan aspek-aspek kesiapan daerah. Menurutnya, jika aspek kesiapan daerah dikesampingkan, maka dikhawatirkan daerah otonom baru akan lahir prematur dan pemekaran daerah justru menimbulkan permasalahan baru.

“Undang-undang Otsus yang baru saja disahkan itu aspek kesiapan daerah kan dikesampingkan. Artinya, ada aspek politik, sosial dan aspek lainnya yang menjadi bahan pertimbangan. Yang kita harapkan sebagai wakil rakyat ialah bagaimana pembangunan itu memberdayakan penduduk asli. Dalam arti, pemekaran terbentuk, tetapi orang Papua asli harus menjadi subjek utama dalam setiap sektor,” jelas Filep.

Hal yang sama diungkapkan oleh Djohermansyah yang menyampaikan bahwa saat ini memang sudah ada pasal dalam UU Nomor 2/2021 yang menyebutkan pemekaran wilayah dapat dilakukan bahkan tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. Namun ketentuan hukum ini memiliki tantangan dalam pelaksanaannya, termasuk adanya penolakan dari DPR Papua dan MRP terhadap dasar hukum baru tersebut.

Djohermansyah menyebutkan, selama era reformasi, Papua mengalami pemekaran wilayah yang begitu besar yaitu hampir 320%. Berdasarkan catatannya, ia menyebutkan, pada 1999 Papua hanya memiliki satu provinsi dan sembilan kabupaten/kota. Namun hingga 2021 ini, jumlah wilayah administratif di papua sebanyak dua provinsi, yaitu papua dan papua barat. Provinsi Papua, kini memiliki 28 Kabupaten dan satu Kota dengan 384 distrik. Sedangkan Provinsi Papua Barat memiliki 12 Kabupaten dan satu Kota dengan 124 distrik. Oleh karena itu, pemekaran harus dilakukan dengan berhati-hati dan mengutamakan terpenuhinya hak-hak masyarakat Papua. (UWR)

Share This Article

Related Articles

Comments (770)

Leave a Comment