Catatan Kritis Filep Wamafma di Hari Pendidikan Nasional
- by Redaksi
- May 02, 2025 10:00 am
- 113 views

JAKARTA, JAGAPAPUA.COM - Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap tanggal 2 Mei, merupakan bagian dari refleksi sekaligus upaya mempromosikan pendidikan yang bermartabat di Indonesia. Ketua Komite III, Filep Wamafma, yang juga membidangi pendidikan, menekankan sejumlah refleksi terhadap perjalanan pendidikan di Indonesia.
“2 Mei harus menjadi momentum refleksi mendasar atas penyelenggaraan pendidikan kita. Saya mulai dari HLS (red, Harapan Lama Sekolah). Memang ada perbaikan, HLS kita berada di kisaran 13,21 tahun di 2024, meningkat dari 13,15 tahun di tahun 2023. Tetapi kalau dicek per daerah, kita akan temukan kontrasnya. Bekasi dan Bandung angka HLS-nya 14 tahun, atau Sleman di angka 16. Tetapi di Papua Tengah misalnya di Kabupaten Puncak, HLS-nya 5 tahun, atau di Papua Pegunungan misalnya di Pegunungan Bintang HLS-nya 6 tahun. Ini artinya secara rata-rata anak yang mulai sekolah di usia 7 tahun, bersekolah sampai 5 tahun atau hanya sampai kelas 5 SD. Kondisi ini sangat memprihatinkan, sementara di sisi lain kekayaan SDA Papua melimpah ruah yang harapannya sejalan dengan pemerataan akses Pendidikan,” kata Filep saat ditemui awak media, Jumat (2/5/2025).
“Lalu kita bicara tentang tingkat pendidikan. Terbaru hanya 10,2 persen penduduk Indonesia yang pendidikannya selesai di perguruan tinggi. Lulusan paling banyak didominasi pendidikan SD (24,72 persen) dan SMP (22,79 persen). Kalau diperiksa detail, misalnya di Provinsi Papua Pegunungan bahkan masih ada yang tidak selesai SD, tidak ada ijazah sama sekali. Padahal Otsus sudah mewajibkan adanya pendidikan gratis bagi Orang Asli Papua (OAP) mulai PAUD sampai perguruan tinggi. Ini gambaran kondisi pendidikan kita,” tambah Filep.
Lebih lanjut, senator Papua Barat itu juga menyinggung masalah jumlah tenaga pengajar, Filep mengungkapkan bahwa defisit guru dan dosen masih terjadi. Ia menyebutkan, di tahun 2024 terdapat sekitar 330.000 dosen, namun jumlah profesor hanya 11.000 orang, yang sebagian besar berasal dari perguruan tinggu negeri. Belum lagi soal kualitas, Filep meyakini terdapat disparitas dan kesenjangan akses ilmu antara wilayah Jawa dan Indonesia bagian tengah dan timur.
“Sementara itu data guru lebih dinamis. Pada tahun 2025, diperkirakan terdapat sekitar 3,39 juta guru di Indonesia. Jumlah ini sedikit lebih tinggi dari tahun ajaran 2023/2024 yang mencapai 3,03 juta guru. Saya yakin semua berharap bahwa kenaikan kuantitas ini diikuti juga dengan perbaikan kesejahteraan”, imbuhnya.
“Lalu bagaimana dengan infrastruktur? Kalau kita baca Peta Jalan Pendidikan Indonesia Tahun 2025-2045 yang diluncurkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), disana disebutkan mengenai belum meratanya akses pendidikan yang berkualitas. Persoalannya juga mencakup kemiskinan, ketimpangan mutu sekolah dan kualitas guru, sampai kesenjangan infrastruktur antar daerah. Infrastruktur pendidikan kita memang nampak timpang antara daerah metropolitan dan daerah terpencil. Infrastrukur itu setidaknya ada 3 hal mendasar yaitu akses jalan atau transportasi ke sekolah, infrastruktur sekolah atau kampus, dan infrastruktur media pembelajaran termasuk akses internet dan hal-hal terkait digitalisasi pendidikan. Rasanya sulit sekali mencapai ini jika tidak ada keseriusan pemerintah”, tegas Filep.
Terkait kondisi ini, Ketua Komite III DPD RI ini kemudian memberikan beberapa pandangan dan rekomendasi dalam rangka perbaikan pendidikan.
“Dengan masalah yang kompleks itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, meletakkan pendidikan sebagai investasi sehingga mau tidak mau seluruh infrastruktur pendidikan harus dibenahi, terutama di wilayah terpencil, terluar, termiskin, yang dimulai dari peningkatan akses transportasi dan konektivitas internet ke daerah-daerah yang sulit dijangkau. Kedua, peningkatan kualitas guru, bisa lewat program pelatihan dan pengembangan kompetensi yang dijalankan bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan guru secara signifikan,” urainya.
“Ketiga, pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan daerah dan perkembangan teknologi. Ini harus menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum harus benar-benar mengeksplorasi kebutuhan daerah. Terakhir, kita juga perlu mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dan pemda juga pihak swasta dalam mendukung pendidikan. Disinilah sejatinya saya selalu menekankan bahwa dana pendidikan tidak boleh diganggu gugat untuk keperluan lainnya,” tutup Filep.
Share This Article