Simak Opini Senator Filep Soal Cita-Cita Kedamaian di Tanah Papua

Pemerintah tentu saja sadar betul bahwa lahirnya UU Otsus Papua dan Papua Barat didasari oleh kenyataan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.

Hal di atas secara jelas ditulis dalam Konsideran Menimbang UU Otsus. Kesenjangan pembangunan antara Provinsi Papua dan daerah lain, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua, perlindungan dan penegakan HAM, semuanya menjadi ukuran bagi pemberlakuan Otsus di tanah Papua.

Apa yang ditulis di Konsideran Menimbang tersebut menyuguhkan cita-cita mulia negara untuk mengangkat marwah Papua ke derajat yang tinggi. Apakah semua itu terlaksana? Tahun demi tahun dilewati, dan fakta menunjukkan bahwa tulisan di Konsideran Menimbang itu masih sebuah utopia, mimpi yang belum tercapai. Meski demikian, memang kita tak boleh pesimis, tapi langkah langkah taktis harus terukur dan jelas. Pasalnya, kesejahteraan Papua dan Papua Barat hanya dibuktikan dengan IPM yang terendah, persoalan HAM yang tak kunjung selesai, bahkan oleh Komnas HAM sekalipun tak berujung tuntas. Orang Papua lalu bertanya, ada apa ini?

Dalam bayang-bayang mimpi untuk maju dan sejahtera, arus diskriminasi rasial justru kerap dialami Orang Papua. Di pegunungan sana, perlawanan bersenjatapun terjadi. Ketidakpuasan, kemarahan, dendam yang berurat akar, akhirnya terkulminasi dalam perang yang celakanya mengorbankan rakyat sipil. Lalu Orang Papua bertanya, ada apa ini?

Jangan dilupakan, salah satu Konsideran Menimbang menyebutkan, bahwa telah lahir KESADARAN BARU di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional terkait pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua. KESADARAN BARU inilah yang tidak ditanggapi serius oleh pemerintah. Celakanya, alih-alih menjawab pertanyaan orang Papua tentang berbagai solusi untuk persoalan Papua, pemerintah seolah kehabisan solusi dan tak mau menilik sumber persoalan.

Logika sederhana masyarakat langsung mengatakan bahwa pelabelan itu merupakan tanda bahwa pemerintah telah gagal memberi akses pada lahirnya kesadaran baru masyarakat Papua, gagal menciptakan kesejahteraan di Papua melalui UU Otsus yang gagal mengedepankan kedamaian di Papua, dan gagal menjawab aspirasi rakyat Papua.

Tindakan menyederhanaan persoalan “hanya pada KKB” semakin menunjukkan bahwa pemerintah masih lemah dalam membangkitkan rasa cinta orang Papua pada NKRI.

Pemerintah tentu memiliki kuasa. Negara tentu memiliki wewenang untuk menentukan status militerisme di Papua. Namun apakah sudah ada kalkulasi yang matang mengenai potensi adanya korban rakyat sipil yang jatuh akibat militerisme? Bukankah perang hanya menimbulkan kebencian baru? Sekali lagi, inilah kegagalan pemerintah dalam mengimplementasikan Otsus. Semoga tak ada perang lagi!

(Opini ini ditulis oleh Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum atas penetapan status KKB sebagai teroris)

Share This Article

Related Articles

Comments (3301)