JAGAPAPUA.COM - Setelah dibangun Jembatan Merah teluk Youtefa yang menghubungkan pantai Hamadi-Holtekamp wilayah Koya Timur Kota Jayapura yang diresmikan Presiden Jokowi pada 28 Oktober 2019, maka posisi jembatan ini menjadi ikon pariwisata bagi Kota Jayapura.
Daerah bibir pantai sekitar Hamadi dan Holtekamp sampai dengan jembatan merah Youtefa merupakan area obyek wisata alam yang sangat menarik perhatian publik, terlebih para pemodal. Hal itu karena posisinya strategis yang bernilai ekonomis, maka daerah tersebut menjadi rebutan para pemodal.
Dalam kondisi persaingan tersebut, lokasi sepanjang 9.950 meter ke arah Holtekamp sampai ujung jembatan merah sudah dikuasai pihak ketiga. Adapun pihak ketiga sudah masuk mulai dikapling batas kepemilikannya dan ada yang sudah dimulai bangun dengan model bangunan permanen.
Kita belum tahu pasti bagaimana cara kepemilikannya. Apakah pakai pola jual beli atau pola sewa kontrak. Samuel Tabuni, Admin WA Grup The Sprit of Papua mencoba mewawancarai seorang penjual mama asli masyarakat adat. Pemilik lokasi tersebut mengakui kalau lokasi tersebut dikontrak oleh pihak ketiga selama satu tahun dengan harga sewa RP 50.000.000 per tahun.
Pengakuan seorang mama ini berbanding terbalik dengan fakta dilapangan, dimana disana-sini mulai dipatok, dibersihkan dan bahkan ada yang mulai dibangun dan dipagari beton secara permanen, sehingga mulai merusak nilai venue yang eksotis alamiah itu.
Bukan apa-apanya, memang masyarakat adat berhak memutuskan terhadap status kepemilikan lokasi itu entah mau dijual atau dikontrak. Tetapi sebaiknya harus diketahui unsur-unsur semua pemangku kepentingan, tokoh adat, ondoafi, dan pemerintah kota. Sebab daerah ini merupakan serambi depan dari sudut geopolitik nasional karena letaknya strategis antar wilayah perbatasan Negara.
Dari kepentingan unsur geopolitik nasional inilah, seharusnya status kepemilikan lokasi ini sedapat mungkin tetap dipertahankan sebagai hak kepemilikan masyarakat adat, dan dilarang dijualbelikan kepada pihak ketiga. Otoriras masyarakat adat tetap mengelola lokasi ini sebagai obyek pariwisata alam dengan dipandu oleh suatu regulasi (perda) pemerintah kota Jayapura.
Dengan demikian ciri khas dan eksistensi nilai kearifan lokal masyarakat adat Enjros, Tobati dan Nafri tetap eksis dilokasi ini dipandu dengan dunia pariwisata modern akan semakin tersohor dijual keluar Negeri seperti Bali. Konsep seperti ini harus diramu oleh pemerintah kota. Karena itu pemerintah kota Jayapura segera mengatur tata ruang fungsi pemanfaatan lokasi di sepanjang bibir pantai ini.
Sebenarnya sesuai rejim undang-undang Otonomi Khusus pemerintah kota mempunyai kewajiban absolut untuk mengatur kepentingan warganya. Pemerintah Daerah Papua baik Provinsi, Kabupaten dan Kota wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan, hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku (baca : pasal 43 ayat (1) UU No 21/2001).
Dengan berpedoman pada ketentuan ini sebenarnya pemerintah kota Jayapura harus bertindak, tertibkan lokasi strategis yang merupakan ikon pariwisata kota Jayapura ini.
Bekerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat adat, menata kembali lokasi ini tetap dipertahankan dikelola oleh masyarakat adat sendiri dengan dalam pembinaan yang baik oleh instansi teknis pemerintah kota Jayapura.
Dengan demikian jati diri masyarakat adat Port Numbay senantiasa tergambar dalam paket produk pariwisata yang akan dipromosikan kemana saja diseluruh planet bumi. Semoga.
(Ditulis oleh Paskalis Kossay, politisi asal Papua)
Share This Article