Kebudayaan Asli Papua, Antara Hidup Segan Mati Tak Mau

Kadang saya terbuai dalam mimpi di siang bolong ketika para tetua menceritakan dongeng dan wasiat leluhur tempo dulu dan nasib anak anaknya kedepan saat kita dihadapkan pada benturan-benturan budaya yang datang silih berganti. Maka saya kembali berpikir bahwa kalau memang benar-benar ada anak adat yang  menjadi pemimpin di negeri ini maka seharusnya dia berpikir untuk membangun suatu Lembaga Khusus di tiap “Wilayah Adat”  tanah ini. Tujuannya untuk  mengkaji dan mengembangkan serta mendokumentasikan sejumlah Warisan Budaya orang Papua.

Mengapa Demikian?

Saya khawatir 50 tahun kedepan anak negeri di Tanah ini su tra tau identitas aslinya walau dia mengaku berambut keriting dan berkulit hitam.

Karena seiring waktu yang terus berlalu, perubahan disemua lini pun terus berlanjut dan termasuk gaya hidup anak negeri ini yang secara sadar atau tidak sadar perlahan tapi pasti menggeser kebudayaan asli dari  tiap suku bangsa di Tanah Cenderawasih ini.

Dan tentunya sudah pasti melalui generasi Papua 50 tahun kedepan akan melahirkan satu kebudayaan baru yang katanya budaya Papua tapi 90 persen ramuannya produk luar. Asli tapi Palsu (AsPal).

Pada generasi kita berikut, mereka tentunya masih mengikat label Marga pada namanya dan pasti mereka masih tahu asal kampungnya tapi sudah jelas mereka tidak tahu menahu akan bahasa dan kebudayaan dari kampungnya sendiri, syukurlah kalau ada yang masih bisa menyimpan memori 50 tahun yang lalu.

Karena itu menurut saya, membangun sebuah Lembaga Pengembangan dan Pengkajian dalam satu Wilayah Adat itu sangat penting agar melalui Lembaga ini dapat mendokumenkan buku, Kamus, Film Dokumenter, VCD, dan lain sebagainya yan berkaitan tentang kearifan lokal tiap suku antara.

Kearifan itu antara lain bahasa daerah, tari-tarian, lagu asli daerah, cerita rakyat dan mitos – mitos, serta  wasiat leluhur dan lainnya yang akan mnjadi satu pegangan dan cerita yang tidak pernah akan terputus dari generasi ke generasi di atas Tanah ini.

Bila tidak, maka generasi kita 50 tahun kedepan akan terbang jauh ke Negeri Belanda (Universitas Leiden) misalnya untuk belajar kebudayaannya yang tertulis dan tersimpan disana walau literaturnya tidak lengkap.

Sudah pasti bahwa generasi kita kedepan tentunya akan menyesali  kesalahan para pendahulunya yang tidak pernah berpikir untuk mendokumentasikan kebudayaannya bagi anak cucunya.

Barangkali kita perlu bercermin pada bangsa-bangsa yang sudah  besar dan maju di planet ini seperti bangsa Israel, China dan Jepang karena mereka boleh terbang hingga ke bulan tetapi tetap tidak pernah melupakan rumahnya. artinya mereka menciptakan tehnologi yang super tetapi selalu menjunjung tinggi kebudayaan leluhurnya yang selalu diwariskan ribuan tahun hingga kini karena sudah pasti bahwa telah didokumentasikan oleh para pendahulunya.

Semoga.

Oleh :

(Pemerhati Seni & Budaya Papuar, Nabire)

Share This Article

Related Articles

Comments (1928)